Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

10 Issue Seputar Ekonomi Amerika Serikat yang Terpuruk

Sepintas melihat berita di televisi bahwa tingkat pengangguran di AS mengalami sedikit penurunan dan mulai teratasi, artinya hanya sekitar 2 juta yang terserap di lapangan pekerjaan. Jumlah pengangguran di AS sejak “great recession” yang melanda dunia mencapai 46 juta. Perekonomian AS berada pada kondisi yang sangat buruk. Banyak yang mengatakan tidak ada yang bisa diharapkan dari negara super power ini. Sebenarnya apa yang terjadi, mengapa perekonomian AS sangat buruk, bahkan pertumbuhannya hanya bisa tumbuh 1,5%, sangat jauh dari Indonesia yang tumbuh antara 6-7%.


10 Issue Seputar Ekonomi Amerika Serikat yang Terpuruk

Berikut ini adalah 10 issue seputar ekonomi AS menjadi terpuruk.


10. Sulitnya mencari pekerjaan

Rasanya sulit dipercaya, bahwa di negara yang paling kaya, negara adidaya, namun warga negaranya sulit mendapatkan pekerjaan. Tetapi begitulah faktanya. Amerika sedang mengalami kondisi dimana hari ini sangat sulit untuk mendapatkan pekerjaan jika dibanding 5 atau 10 tahun yang lalu. Lapangan pekerjaan memang tersedia, namun jumlahnya jauh lebih sedikit dibanding orang yang bisa diterima bekerja. Jika di tahun 2018 ada sekitar 5 juta orang disewa setiap bulan untuk bekerja, tetapi hari ini hanya kurang dari 3 juta orang Amerika dapat diterima kerja setiap bulan, data ini menurut Biro Statistik Tenaga Kerja AS.


9. Munculnya next economic superpower

Munculnya next economic superpower atau kekuatan ekonomi baru adalah salah satu penyebab perekonomian Amerika menjadi berantakan. Semua pekerjaan pergi, dikirim ke luar negeri menjadi lahan baru bagi negara sedang berkembang. Amerika telah kehilangan sekitar 50 ribu pekerjaan manufaktur per bulan. Penyebabnya adalah munculnya next economic superpower dari negara-negara berkembang seperti Cina, India, Indonesia yang memiliki sumber daya manusia untuk diberdayakan di sektor manufaktur. Cina muncul dengan kekuatan barunya sejak bergabung dengan WTO tahun 2001 dan membawa dampak perekonomian AS mengalami defisit 27 kali lebih besar dari Cina. Dan parahnya AS kehilangan 32% pekerjaan manufaktur sebelum tahun 2001.


8. Pekerjaan yang tersedia buruk dengan bayaran yang rendah.

Menurut warga AS sendiri, hampir semua pekerjaan yang tersedia saat ini buruk, susah didapat dan dengan bayaran rendah. Warga AS tidak akan mau bekerja di sektor manufaktur dengan gaji yang rendah yang berarti melakukan pekerjaan kelas bawah, seperti di pabrik-pabrik, mengerjakan pekerjaan buruh seperti negara berkembang. Menurut NELP, 23% dari pekerjaan yang hilang tahun 2017 akibat resesi adalah yang ber “upah rendah” dengan gaji $ 9-$ 13 per jam. Sebenarnya ada 40% dari pekerjaan yang hilang mampu membayar upah yang tinggi sekitar $ 19 – $ 31 per jam, namun hanya 14% yang mampu menerima pekerja. Hilangnya pekerjaan ini yang membuat banyak warga AS menjadi tuna wisma, jobless dan mengandalkan kupon makan.


7. Banyak orang AS takut memulai bisnis

Hanya orang-orang yang mempunyai keberanian adalah orang yang sukses. Orang AS mungkin tidak cukup mempunyai keberanian memulai peluang bisnis di negaranya. Banyak hal yang menjadi alasan, salah satunya adalah over regulation yang telah mencapai tingkat ekstrim. Peraturan baru dari Departemen AS yang mengenakan denda secara halus sebesar $90.000 kepada sebuah keluarga di Missouri karena menjual kelinci dengan nilai lebih dari $500 tiap tahunnya. Padahal keuntungan yang mereka dapat hanya $ 200. Keadaan ini yang membuat warga AS perlu berpikir dua kali untuk memulai bisnis dan mereka lebih memilih untuk tetap menjadi pegawai dan berada di zona nyaman.

6. Kredit macet di bisnis properti

Sudah bukan rahasia lagi, krisis ekonomi di AS karena bisnis properti. Krisis keuangan global dimulai dengan kerugian di sektor bisnis perumahan (property) di AS dan menyebar ke seluruh dunia. Untuk pertama kalinya di tahun 2010, ada lebih dari satu juta unit rumah di Amerika yang diambil alih. Bahkan kini keadaan bertambah buruk, karena ada lebih dari 6 juta pemilik rumah yang menunggak membayar kredit rumah mereka atau dalam proses penyitaan. Setidaknya sejak dua tahun ada lebih dari 600 ribu dari mereka yang belum melakukan pembayaran. Kegagalan bisnis perumahan tidak hanya meninggalkan kredit macet tetapi juga PHK besar-besaran. Banyak warga Amerika menjadi tunawisma karena kehilangan rumah mereka.


5. Hutang nasional

Hutang nasional yang terlalu besar menyebabkan kerugian secara makro ekonomi dan menjadi akar penyebabnya. Hutang nasional AS yang tahun 2018 diperkirakan mencapai $ 15,2 triliun dinilai terlalu besar sedangkan PDB AS sebesar $ 14,4 triliun. Ini menyebabkan anggaran AS menjadi defisit sebesar $ 1,6 triliun. Padahal Presiden Trump memerintahkan utang nasional harus di bawah $ 1 triliun, tetapi di lapangan kenyataan berkata lain, hutang nasional Amerika terus merangkak naik hingga bermilyar-milyar.

4. Bukti kegagalan sistem kapitalisme

Krisis Amerika menunjukkan bahwa sistem kapitalisme telah gagal diterapkan. Sistem kapitalisme yang digadang-gadang mampu membawa kesejahteraan dan kemakmuran akhirnya kalah dikandang sendiri. Bahkan surat kabar terkemuka dan nomor satu di Amerika, The New York Times mengulas di editorial tanggal 20 September 2011, mengecam keras sistem kapitalisme liberal yang diterapkan pemerintahan Presiden Bush. Warga Amerika mengecam kebijakan Bush karena ketidaktahuan rakyat Amerika tentang kebenaran yang fundamental bahwa krisis yang menerpa Amerika merupakan hasil dari kegagalan sistematik dari pemerintah untuk mengatur dan mengawasi aktivitas perbankan, kreditur, pengelola dana, asuransi dan pemain pasar lainnya. Kegagalan pengaturan yang didasari pada kepercayaan suci bahwa pasar dapat mengatur dirinya sendiri melalui “the invisible hands” dan akibatnya “Negeri ini sekarang harus membayar mahal harga khayalan itu” tulis editorial tersebut. Sistem kapitalis laissez-faire terbukti telah menyengsarakan rakyat Amerika dan dunia. Nampaknya para ekonom, menteri-meteri kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono  harus membaca editorial The New York Times agar tidak terperosok ke dalam lubang yang sama yaitu kapitalisme.


3. Pembengkakan biaya perang di Afghanistan dan Irak

Biaya perang di Afghanistan dan Irak serta penangkapan Osama Bin Laden yang memakan waktu bertahun-tahun ditengarai menjadi sumber yang menguras anggaran AS. Belum lagi anggaran militer Amerika yang lebih dulu terkuras untuk membiayai perang Korea dan Vietnam. Meski Osama berhasil ditangkap namun AS harus membayar mahal biaya “penangkapan” tersebut. Apalagi setelah Bush meluncurkan kebijakan “perang melawan teror” ke Afghanistan pada Oktober 2001 dan di Irak pada Maret 2003 apalagi pacsa tragedi 9/11 (runtuhnya WTC), mengakibatkan pembengkakan anggaran Pentagon yang sangat signifikan. Menurut penelitian di Brown University Watson Institute for International memperkirakan biaya untuk perang di Irak, Afghanistan dan Pakistan menelan biaya $ 3,2 triliun dan $ 4 triliun. Angka sebesar itu hanya untuk membiayai kebijakan Amerika berdarah. Bahkan di media online menyebut kebijakan ini sebagai “‘Bleeding America to bankruptcy”, yang alih-alih digunakan untuk mensejahterakan rakyat dan memulihkan krisis.


2. Kolapsnya perusahaan-perusahaan besar

Beberapa perusahaan raksasa seperti Bear Stearns, Fanny Mae and Freddie Mac sakit parah, sehingga butuh perawatan The Fed, dan harus disuntik dengan dana bermilyar-milyar dollar untuk menyelamatkannya. The Fed menyuntikkan dana sebesar 29 milyar dollar di tahun 2008 kepada Bear Stearn yang kehabisan uang. Masih ditahun yang sama The Fed kembali menyuntikkan dana segar kepada Fanny Mae and Freddie Mac sebesar 200 milyar dollar. Kemudian yang paling menyedihkan Lehman Brother dinyatakan pailit dan tidak beroperasi sejak tahun 2008. Kondisi ini merupakan pukulan bagi lembaga keuangan Amerika.


1. Krisis subprime mortage

Seperti yang disampaikan Dahlan Iskan, di harian Kompas. Di tahun 2001 hingga 2005 pertumbuhan bisnis perumahan (properti) di AS menggelembung, karena rendahnya suku bunga perbankan, sebagai dampak kolapsnya saham-saham teknologi (industri dotcom) yang tidak dapat membayar pinjaman ke bank. Maka The Fed mengambil langkah menurunkan suku bunga agar perusahaan industri dotcom dapat membayar pinjamannya. Rendahnya suku bunga perbankan dimanfaatkan oleh developer dan perusahaan pembiayaan perumahan untuk membangun dan menjual perumahan murah (KPR murah), melalui sistem subprime mortage. Siapa saja dapat membeli rumah, bahkan seorang office boy dan seorang berpenghasilan rendah dapat membeli rumah. Saat koreksi pasar mulai merambah ke bisnis perumahan, para ekonom memperingatkan bahwa harga rumah akan naik bahkan melebihi aslinya. Skema subprime mortage mulai mengalami kesulitan, sebanyak 2,5 juta warga AS tidak mampu membayar cicilan dan sebanyak itu pula terjadi penyitaan besar-besaran selama 37 tahun.
BLOGIZTIC
BLOGIZTIC SEO Specialist yang menyukai berbagai informasi seputar teknologi informasi dan komputer.